1. DALIL TENTANG MENYARINGKAN BACAAN PADA SHALAT JUM'AT
الْجَهْرُ بِالْقِرَاءَةِ فِي صَلاَةِ الْجُمُعَةِ:
٢٨ - ذَهَبَ الْجُمْهُورُ إِلَى أَنَّهُ يُسَنُّ لِلإِْمَامِ الْجَهْرُ فِي قِرَاءَةِ صَلاَةِ الْجُمُعَةِ، وَعِنْدَ الْحَنَفِيَّةِ يَجِبُ الْجَهْرُ فِيهَا بِالْقِرَاءَةِ، قَال فِي الْبَدَائِعِ:وَذَلِكَ لِوُرُودِ الأَْثَرِ فِيهَا بِالْجَهْرِ وَهُوَ مَا رُوِيَ عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ - رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ - أَنَّهُ قَال: {سَمِعْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقْرَأُ فِي صَلاَةِ الْجُمُعَةِ فِي الرَّكْعَةِ الأُْولَى سُورَةَ الْجُمُعَةِ وَفِي الثَّانِيَةِ سُورَةَ الْمُنَافِقِينَ (٣) وَلَوْ لَمْ يَجْهَرْ لَمَا سَمِعَ وَلأَِنّ النَّاسَ يَوْمَ الْجُمُعَةِ فَرَّغُوا قُلُوبَهُمْ، عَنْ الاِهْتِمَامِ بِأُمُورِ التِّجَارَةِ لِعِظَمِ ذَلِكَ الْجَمْعِ فَيَتَأَمَّلُونَ قِرَاءَةَ الإِْمَامِ فَتَحْصُل لَهُمْ ثَمَرَاتُ الْقِرَاءَةِ، فَيَجْهَرُ بِهَا كَمَا فِي صَلاَةِ اللَّيْل، وَخَالَفَ بَقِيَّةُ الأَْئِمَّةِ فِي وُجُوبِ الْجَهْرِ فَذَهَبُوا إِلَى اسْتِحْبَابِهِ (١) َ
Menyaringkan Bacaan dalam Shalat Jum'at
Jumhur Ulama Berpendapat bahwa disunahkan bagi imam menyaringkan bacaan dalam shalat jum'at. Dan menurut Ulama Hanafiyyah hukumnya wajib menjaherkan bacaan dalam shalat jum'at, Pengarang kitab Badada-i'i : dan yang demikian karna adanya atsar untk menjahrkan bacaan dari shalat jum'at yaitu riwayat dari Ibnu Abbas r.a. dia berkata :
("Aku mendengar Rosululloh SAW. membaca dalam shalat jum'at pada raka'at pertama surat al-jumu'ah dan pada raka'at kedua surat al-munafiqun")
dan andaikan Rosululloh SAW tidak mengeraskan bacaan maka Ibn Abbas tidak mendengar-Nya, dan karena manusia pada hari jum'at mengosongkan hati mereka dari mementingkan urusan perdagangan/perniagaan karena agungnya perkumpulan tersbt, lalu mereka memperhatikan dg penuh perhatian bacaan Imam maka hasilah bgi mereka buah/faidah qiroat tersebut. Maka Rosul SAW menyaringkan bacaan pada shalat jum'at seperti halnya di dalam shalat malam. dan sebagian para imam berbda pendapat dg Ulama hanafiyyah tentang wajibnya menyaringkan qiroat, maka mereka menghukuminya sunnah. .
sumber :( Almausu'ah al fiqhiyah jilid 27 hal 205)
2. ADAKAH SHALAT SUNNAH QABLIYAH JUM'AT
Shalat Qabliyah dan Ba’diyah Jum’at
Para ulama sepakat bahwa shalat sunnat yang di lakukan setelah shalat jum'at adalah sunnah dan termasuk rawatib ba'diyah Jum'at.
seperti yang di riwayatkan oleh Imam Muslim dan Imam Bukhari
: عَن أَبِيْ هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا صَلَّى أَحَدُكُمْ الجُمْعَةَ فَلْيُصَلِّ بَعْدَهَا أَرْبَعاً ”
"Diriwayatkan dari Abi Hurairah r.a. ia berkata: Rasulullah saw bersabda: ”Jika salah seorang di antara kalian shalat jum’at hendaklah shalat empat raka’at setelahnya”. (HR. Bukhari dan Muslim).
Sedangkan shalat sunnah sebelum shalat Jum'at terdapat dua kemungkinan.
Pertama, shalat sunnah mutlak, hukumnya sunnah. Waktu pelaksanannya berakhir pada saat imam memulai khutbah.
Kedua, shalat sunnah qabliyyah Jum'at.
Para ulama berbeda pendapat tentang shalat sunnah qabliyyah Juma’at.
Pertama, shalat qabliyyah Jum’ah dianjurkan untuk dilaksanakan (sunnah). Pendapat ini di kemukakan oleh Imam Abu Hanifah, Syafi'iyyah (menurut pendapat yang dalilnya lebih tegas) dan pendapat Hanabilah dalam riwayat yang tidak masyhur.
Kedua, shalat qabliyyah Jum’at tidak disunnahkan menurut pendapat Imam Malik, sebagian Hanabilah dalam riwayat yang masyhur,
Adapun dalil yang menyatakan dianjurkannya sholat sunnah qabliyah Jum'at:
Hadist Rasulullah SAW
مَا صَحَّحَهُ ابْنُ حِبَّانٍ مِنْ حَدِيْثِ عَبْدِاللهِ بْنِ الزُّبَيْرِ "مَا مِنْ صَلاَةٍ مَفْرُوْضَةٍ إِلاَّ وَبَيْنَ يَدَيْهَا رَكْعَتَانِ
"Semua shalat fardlu itu pasti diikuti oleh shalat sunnat qabliyah dua rakaat". (HR.Ibnu Hibban yang telah dianggap shohih dari hadist Abdullah Bin Zubair).
Hadist ini secara umum menerangkan adanya shalat sunnah qabliyah tanpa terkecuali shalat Jum'at. Hadist Rasulullah SAW
وَعَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ جَاءَ سُلَيْكٌ الغَطَفَانِيُّ وَرَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَخْطُبُ فَقَالَ لَهُ النَّبِيُّ صَلَّى الله ُعَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَصَلَّيْتَ رَكْعَتَيْنِ قَبْلَ أَنْ تَجِيْءَ؟ قاَلَ لاَ. قَالَ فَصَلِّ رَكْعَتَيْنِ وَتَجَوَّزْ فِيْهِمَا. سنن ابن ماجه "
Diriwayatkan dari Abi Hurairah r.a. berkata: Sulayk al Ghathafani datang (ke masjid), sedangkan Rasulullah saw sedang berkhuthbah. Lalu Nabi SAW bertanya: Apakah kamu sudah shalat sebelum datang ke sini? Sulayk menjawab: Belum. Nabi SAW bersabda: Shalatlah dua raka’at dan ringankan saja (jangan membaca surat panjang-panjang)” (Sunan Ibn Majah: 1104).
Berdasar dalil-dalin tersebut, Imam al Nawawi menegaskan dalam kitab al Majmu’ Syarh al Muhadzdzab:
فَرْعٌ فِيْ سُنَّةِ الجُمْعَةِ بَعْدَهَا وَقَبْلَهَا. تُسَنُّ قَبْلَهَا وَبَعْدَهَا صَلاَةٌ وَأَقَلُّهَا رَكْعَتَانِ قَبْلَهَا وَرَكْعَتَانِ بَعْدَهَا. وَالأَكْمَلُ أَرْبَعٌ قَبْلَهَا وَأَرْبَعٌ بَعْدَهَا
“(Cabang). Menerangkan tentang sunnah shalat Jum’at sebelumnya dan sesudahnya. Disunnahkan shalat sunnah sebelum dan sesudah shalat jum’at. Paling sedikit dua raka’at sebelum dan sesudah shalat jum’at. Namun yang paling sempurna adalah shalat sunnah empat raka’at sebelum dan sesudah shalat Jum’at”. (Al Majmu’, Juz 4: 9)
Adapun Dalil yang menerangkan tidak dianjurkannya shalat sunnat qabliyah Jum'at adalah sbb.:
Hadist dari Saib Bin Yazid: "Pada awalnya, adzan jum'at dilakukan pada saat imam berada di atas mimbar yaitu pada masa Nabi SAW, Abu bakar dan Umar, tetapi setelah zaman Ustman dan manusia semakin banyak maka Sahabat Ustman menambah adzan menjadi tiga kali (memasukkan iqamat), menurut riwayat Imam Bukhori menambah adzan menjadi dua kali (tanpa memasukkan iqamat). (H.R. riwayat Jama'ah kecuali Imam Muslim).
Dengan hadist di atas Ibnu al-Qoyyim berpendapat, "Ketika Nabi keluar dari rumahnya langsung naik mimbar kemudian Bilal mengumandangkan adzan. Setelah adzan selesai Nabi SAW langsung berkhutbah tanpa adanya pemisah antara adzan dan khutbah, lantas kapan Nabi SAW dan jama’ah itu melaksanakan shalat sunnat qabliyah Jum'at?Dari dua pendapat dan dalilnya diatas jelas bahwa pendapat kedua adalah interpretasi dari tidak shalatnya Nabi SAW sebelum naik ke mimbar untuk membaca khuthbah.
Sedangkan pendapat pertama berlandaskan dalil yang sudah sharih (argumen tegas dan jelas). Maka pendapat pertama yang mensunnahkan shalat qabliyyah jum’ah tentu lebih kuat dan lebih unggul (rajih).
Permasalahan ini semua adalah khilafiyah furu'iyyah (perbedaan dalam cabang hukum agama) maka tidak boleh menyudutkan di antara dua pendapat di atas. Dalam kaidah fiqh mengatakan “la yunkaru al-mukhtalaf fih wa innama yunkaru al- mujma' alaih” (Seseorang boleh mengikuti salah satu pendapat yang diperselisihkan ulama dan tidak boleh mencegahnya untuk melakukan hal itu, kecuali permasalahan yang telah disepakati). Wallahua’lam bish shawab
oleh : HM Cholil Nafis MA Wakil Ketua Lembaga Bahtsul Masa’il PBNU
DALIL-DALIL SHALAT SUNAT QOBLIYYAH JUM'AT
Oleh: Ust. Muhammad Idrus Ramli
Assalamu’alaikum warahmatullahi wa barakatuh. Ustadz Idrus Ramli yang kami hormati. Mayoritas umat Islam Indonesia, termasuk di daerah kami, melakukan Shalat Sunnah Qabliyah Jum’at, dua raka’at dan kadang empat raka’at. Hal ini telah berlangsung sejak masa-masa yang silam. Belakangan ini ada kelompok yang berpandangan bahwa Shalat Sunnah Qabliyah Jum’at hukumnya bid’ah, haram dan tidak boleh dilakukan. Orang yang melakukan Shalat Sunnah Qabliyah Jum’at akan menanggung dosa karena mengerjakan bid’ah yang tercela dan tersesat, atau bid’ah madzmumah dan dhalalah. Bagaimana sebenarnya hukum Shalat Sunnah Qabliyah Jum’at? Adakah dasar-dasar hadits Nabi saw yang shahih bagi yang melakukannya? Mohon penjelasannya. Sekian terima kasih.
Wassalamu’alaikum warahmatullahi wa barakatuh.
Jawaban:
Pada dasarnya hukum Shalat Qabliyah dan Ba’diyah Jum’at hukumnya Sunnat, baik mengerjakannya dua raka’at atau empat raka’at agar lebih sempurna. Sedangkan pandangan sebagian kaum Wahabi, bahwa Shalat Qabliyah Jum’at hukumnya bid’ah dan haram, jelas keliru. Terdapat sekian banyak dalil bagi kesunnatan Shalat Qabliyah Jum’at.
Dalil-dalil tersebut dapat kita klasifikasi sebagai berikut:
Pertama, Dalil Umum
عَنْ عَبْدِ اللهِ بْنِ مُغَفلٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ أَنَّ النَّبِيَّ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: بَيْنَ كُلِّ أَذَانَيْنِ صَلاَةٌ بَيْنَ كُلِّ أَذَانَيْنِ صَلاَةٌ بَيْنَ كُلِّ أَذَانَيْنِ صَلاَةٌ قَالَ فِي الثَّالِثَةِ لِمَنْ يَشَاءُ. رَوَاهُ الْبُخَارِيُّ وَمُسْلِمٌ وَالْمُرَادُ بِالْاَذَانَيْنِ اْلاَذَانُ وَاْلاِقَامَةُ بِاتِّفَاقِ الْعُلَمَاءِ.
“Dari Abdullah bin Mughaffal Radhiyallahu’anh, dari Nabi Shallahu’alaihi wasallam, bersabda: “Di antara setiap dua adzan, terdapat shalat yang didirikan. Di antara setiap dua adzan, terdapat shalat yang didirikan. Di antara setiap dua adzan, terdapat shalat yang didirikan.” Nabi Shallahu’alaihi wasallam bersabda pada ucapan ketiga: “Bagi yang menghendakinya.”(HR. al-Bukhari dan Muslim).
Hadits di atas menjadi dasar bagi disunnahkannya Shalat Qabliyah apa saja atau secara umum, termasuk shalat Jum’at. Sedangkan yang dimaksud dengan adzan dalam hadits di atas, adalah antara adzan dan iqamah berdasarkan kesepakatan para ulama, sebagaimana ditegaskan oleh al-Imam al-Nawawi dalam kitab al-Majmu’ Syarh al-Muhadzdzab (juz III, hal. 503).
Dengan demikian, hadits di atas secara umum memberikan kesimpulan, bahwa di antara setiap adzan dan iqamah terdapat Shalat Qabliyah yang disunnahkan, termasuk shalat Jum’at.
Berkaitan dengan hadits Abdullah bin Mughaffal di atas, sebagian kaum Wahabi menampakkan inkonsistenya dalam memahami hadits-hadits Nabi Shallahu’alaihi wasallam. Di satu sisi, mereka menolak adanya bid’ah hasanah, berdasarkan keumuman hadits kullu bid’atin dhalalah (setiap bid’ah adalah sesat).
Padahal keumuman hadits ini, telah dibatasi oleh sekitar 300 hadits dan atsar ulama Salaf yang shaleh. Di sisi lain, kaum Wahabi menolak keumuman hadits Abdullah bin Mughaffal di atas, yang berbunyi baina kulli adzanaini shalatun (setiap di antara adzan dan iqamah, terdapat shalat sunnah yang didirikan), dan mengecualikan shalat Jum’at dari keumuman hadits tersebut. Padahal hadits tersebut tidak ada yang membatasi jangkauan hukumnya. La haula wala quwwata illa billah.
Kedua, Dalil Khusus
Al-Hafizh Ibnu Hajar berkata:
( فَائِدَةٌ ) : لَمْ يَذْكُرْ الرَّافِعِيُّ فِي سُنَّةِ الْجُمُعَةِ الَّتِي قَبْلَهَا حَدِيثًا ، وَأَصَحُّ مَا فِيهِ مَا رَوَاهُ ابْنُ مَاجَهْ … عَنْ أَبِي صَالِحٍ ، عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ ، وَعَنْ أَبِي سُفْيَانَ ، عَنْ جَابِرِ قَالَ : جَاءَ سُلَيْكٌ الْغَطَفَانِيُّ وَرَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَخْطُبُ فَقَالَ لَهُ : أَصْلَيْتَ رَكْعَتَيْنِ قَبْلَ أَنْ تَجِيءَ ؟ قَالَ : لَا ، قَالَ : فَصَلِّ رَكْعَتَيْنِ وَتَجَوَّزْ فِيهِمَا . قَالَ الْمَجْدُ ابْنُ تَيْمِيَّةَ فِي الْمُنْتَقَى : قَوْلُهُ : قَبْلَ أَنْ تَجِيءَ دَلِيلٌ عَلَى أَنَّهُمَا سُنَّةُ الْجُمُعَةِ الَّتِي قَبْلَهَا ، لَا تَحِيَّةَ الْمَسْجِدِ .
“Keterangan penting. Al-Imam al-Rafi’i tidak menyebutkan dasar hadits tentang shalat sunnah Qabliyah Jum’at. Dasar yang paling shahih mengenai hal tersebut adalah hadits riwayat Ibnu Majah … dari Abu Shalih, dari Abu Hurairah, dan dari Abi Sufyan dari Jabir, yang berkata: “Sulaik al-Ghathafani datang ketika Rasulullah Shallahu’alaihi wasallam sedang khutbah. Lalu Rasulullah Shallahu’alaihi wasallam berkata kepadanya: “Apakah kamu sudah menunaikan shalat sebelum datang kemari?” Sulaik menjawab: “Tidak.” Rasulullah Shallahu’alaihi wasallam bersabda: “Shalatlah dua raka’at dan percepatlah.” Al-Imam Majduddin Ibnu Taimiyah (kakek Ibnu Taimiyah yang dinilai sesat oleh para ulama) berkata dalam kitab al-Muntaqa: “Sabda Nabi Shallahu’alaihi wasallam: “Sebelum datang kemari”, menjadi dalil bahwa kedua raka’at tersebut adalah shalat sunnah Qabliyah Jum’at, bukan shalat Tahiyyatal Masjid.” (Al-Hafizh Ibnu Hajar, dalam al-Talkhish al-Habir, juz II, hal. 74).
Hadits Sulaik al-Ghathafani di atas menjadi dalil sunnahnya menunaikan shalat Qabliyah Jum’at. Mengomentari hadits tersebut, kaum yang menolak kesunnahan shalat Qabliyah Jum’at, yaitu Ibnu al-Qayyim berkata dalam kitabnya Zadul-Ma’ad (juz I, hal. 543), bahwa terjadi kekeliruan dalam catatan sebagian perawi Sunan Ibnu Majah. Redaksi yang tertulisqabla an taji’a yang menjadi dasar hukum shalat Qabliyah Jum’at, seharusnya tertulisqabla an tajlisa (sebelum kamu duduk), sehingga menurutnya hadits tersebut mengarah pada disunnahkannya shalat Tahiyyatal Masjid, bukan shalat Qabliyah Jum’at. Tentu saja kekeliruan yang didakwakan oleh Ibnu al-Qayyim tersebut tidak pernah terjadi. Dalam beberapa naskah Sunan Ibnu Majah yang otentik, hadits tersebut memang tertulis dengan redaksi qabla antaji’a, bukan qabla antajlisa. Disamping itu, riwayat Ibnu Majah tersebut diperkuat oleh riwayat Abu Ya’la al-Maushili dalam Musnad-nya (juz III, hal. 449), dan riwayat Ibnu Hibban dalam Shahih-nya (juz VI, hal. 246). Demikian ini sebagaimana ditegaskan oleh al-Hafizh Sirajuddin Ibnu al-Mulaqqin dalam diskursusnya Sunnah al-Jum’ah al-Qabliyyah (hal. 37).
Dalil lain yang memperkuat dalil di atas, adalah hadits Nubaisyah al-Hudzali. Al-Imam Majduddin Ibnu Taimiyah berkata dalam al-Muntaqa:
:بَابُ التَّنَفُّلِ قَبْلَ الْجُمْعَةِ مَا لَمْ يَخْرُجِ اْلإِمَامُ وَأَنَّ انْقِطَاعَهُ بِخُرُوْجِهِ إِلاَّ تَحِيَّةَ الْمَسْجِدِ. عَنْ نُبَيْشَةَ الْهُذَلِيِّ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ، عَنِ النَّبِيِّ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: إِنَّ الْمُسْلِمَ إِذَا اغْتَسَلَ يَوْمَ الْجُمْعَةِ ثُمَّ أَقْبَلَ إِلىَ الْمَسْجِدِ لاَ يُؤْذِيْ أَحَدًا فَإِنْ لَمْ يَجِدِ اْلإِمَامَ خَرَجَ صَلىَّ مَا بَدَا لَهُ وَإِنْ وَجَدَ اْلإِمَامَ قَدْ خَرَجَ جَلَسَ فَاسْتَمَعَ وَأَنْصَتَ حَتَّى يَقْضِيَ اْلإِمَامُ جُمْعَتَهُ وَكَلاَمَهُ إِنْ لَمْ يُغْفَرْ لَهُ فِيْ جُمْعَتِهِ تِلْكَ ذُنُوْبُهُ كُلُّهَا أَنْ تَكُوْنَ كَفَّارَةً لِلْجُمْعَةِ الَّتِيْ تَلِيْهَا ). رواه أحمد.
“Bab shalat sunnat sebelum Jum’at selama imam belum keluar. Habisnya waktu shalat sunnat adalah dengan keluarnya imam, kecuali shalat tahiyat al-masjid. Dari Nubaisyah al-Hudzali Radiyallahu’anh, Nabi Shallahu’alaihi wasallam bersabda: “Apabila seorang Muslim mandi pada hari Jum’at, lalu berangkat ke Masjid tanpa mengganggu atau menyakiti orang lain. Apabila ia tidak mendapati imam telah keluar, maka ia shalat sunnat sesuai yang telah ditetapkan. Apabila imam telah keluar, maka ia duduk mendengarkan khutbahnya sampai imam menyelesaikan jum’at dan khuthbahnya. Maka apabila semua dosa orang tersebut tidak diampuni pada Jum’at itu, maka Jum’atnya menjadi penebus dosanya sampai Jum’at berikutnya.” (HR. Ahmad).Dalam hadits di atas diterangkan tentang keutamaan seseorang yang menunaikan shalat sunnah Jum’at sebelum imam keluar atau datang ke Masjid. Tentu saja, shalat tersebut adalah shalat Qabliyah Jum’at. Al-Imam al-Syaukani, menguraikan dalam kitabnya Nail al-Authar Syarh Muntaqa al-Akhbar (juz III, hal 314), sekian banyak dalil kesunnahan shalat Qabliyah Jum’at, dan mematahkan argumentasi kelompok yang menganggapnya tidak sunnah.
Ketiga, Dalil Qiyas
Di antara dalil kesunnahan shalat Qabliyah Jum’at adalah dalil qiyas (analogi), yaitu diqiyaskan dengan shalat Dhuhur, sebagaimana ditegaskan oleh al-Imam al-Nawawi dalam kitab al-Majmu’ Syarh al-Muhadzdzab (juz III, hal. 503). Dalam konteks yang sama, al-Imam al-Bukhari berkata dalam Shahih-nya:
:بَاب الصَّلَاةِ بَعْدَ الْجُمُعَةِ وَقَبْلَهَا … عَنْ عَبْدِ اللهِ بْنِ عُمَرَ أَنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يُصَلِّي قَبْلَ الظُّهْرِ رَكْعَتَيْنِ وَبَعْدَهَا رَكْعَتَيْنِ. (صَحِيْحُ الْبُخَارِيُّ).
“Bab ini menjelaskan shalat sunnah Ba’diyah dan Qabliyah Jum’at. … Dari Abdullah bin Umar, bahwa Rasulullah Shallahu’alaihi wasallam selalu menunaikan shalat sunnah dua raka’at sebelum Dhuhur dan sesudahnya.” (HR. al-Bukhari [937]).
Dalam kutipan di atas, al-Imam al-Bukhari dalam Shahih-nya menulis bab khusus tentang kesunnahan shalat Qabliyah dan Ba’diyah Jum’at. Kemudian beliau menjelaskan dasar hukumnya, yaitu hadits Ibnu Umar bahwa Rasulullah Shallahu’alaihi wasallammenunaikan shalat sunnah dua raka’at sebelum dan sesudah shalat dhuhur. Dalam hal ini, jelas sekali bahwa al-Imam al-Bukhari mengqiyaskan shalat Jum’at dengan shalat dhuhur, dalam hal sunnah Qabliyah dan Ba’diyahnya. Hal ini sebagaimana ditegaskan oleh para ulama yang menulis kitab-kitab syarh(komentar) Shahih al-Bukhari, antara al-Hafizh Ibnu al-Mulaqqin dalam al-Taudhih li-Syarh al-Jami’ al-Shahih (juz VII, hal. 634); al-Hafizh Ibnu Hajar dalam Fath al-Bari (juz III, hal 235); al-Imam al-Qasthalani dalam Irsyad al-Sari (juz II, hal 193) dan lain-lain.
Beberapa ulama salaf dan ahli hadits juga menulis tentang kesunnahan Qabliyah Jum’at, antara lain al-Imam Abdurrazzaq al-Shan’ani dalam al-Mushannaf, Ibnu Abi Syaibah dalam al-Mushannaf, al-Imam al-Tirmidzi dalam al-Sunan-nya dan lain-lain. Oleh karena itu, sangat menggelitik, apabila sebagian kaum Wahabi yang anti adzan dua kali dan anti shalat Qabliyah Jum’at, membid’ahkan dan mengharamkan shalat Qabliyah Jum’at, dengan alasan konsisten dengan hadits NabiShallahu’alaihi wasallam. Bukankah ahli hadits kenamaan seperti al-Bukhari, Abdurrazzaq, Ibnu Abi Syaibah, al-Tirmidzi dan lain-lain menganjurkan shalat Qabliyah Jum’at?
Keempat, Atsar
Ulama Salaf
Selain dalil-dalil di atas, juga terdapat atsar beberapa sahabat yang menunaikan shalat sunnah Qabliyah Jum’at, mereka antara lain
1) Abdullah bin Mas’ud dalam riwayat Ibnu Abi Syaibah dalam al-Mushannaf ,
2) Shafiyyah binti Huyay dalam riwayat al-Hafizh Ibnu Hajar dalam al-Dirayah fi Takhrij Ahadits al-Hidayah(hal. 143), dan lain-lain.
Di sisi lain, para ulama terdahulu yang tidak mensunnahkan Shalat Qabliyah Jum’at, tidak menganggapnya bid’ah apalagi haram. Mereka masih sebatas membolehkan dan menganggapnya baik. Hal ini sebagaimana penegasan Ibnu Taimiyah dalam Majmu’ al-Fatawa juz 24 hal. 193-194. Ibnu Taimiyah berpandangan bahwa Shalat Qabliyah Jum’at tidak termasuk sunnah rawatib, tetapi mengerjakannya boleh dan bagus (jaizatun hasanatun). Pandangan tersebut berbeda dengan pandangan Wahabi yang justru membid’ahkan dan mengharamkannya.Kesimpulannya, Shalat Qabliyyah Jum’at hukumnya sunnah menurut pendapat yang kuat berdasarkan hadits-hadits shahih, dalil qiyas dan amaliah para ulama salaf. Sedangkan pendapat mereka yang tidak menganggapnya sebagai sunnah rawatib, masih menganggapnya boleh dan baik mengerjakannya.
Wallahu a’lam.