Assalamualaikum Ya Ustad
saya ingin bertanya : masalah harta warisan dan gono gini
Orang tua saya menikah tahun 1960. pada tahun 1970 ayah dari ibu saya meninggal dan ibu saya mendapatkan warisan sebuah rumah. kemudian pada tahun 1990 ayah saya meninggal dunia dengan meninggalkan beberapa putra putri. pertanyaan saya :
a. setelah ayah saya meninggal apakah rumah tersebut sepenuhnya menjadi hak ibu saya, atau menjadi harta warisan untuk seluruh keluarga.
b. apakah harta warisan yang didapatkan seorang istri (dari ayahnya) setelah menikah termasuk harta gono-gini, dan apakah semua harta gono gini merupakan harta warisan seluruh keluarga
c. bagaimana definisi dan batasan harta gono gini secara syariat
Wassalamualaikum
Orang tua saya menikah tahun 1960. pada tahun 1970 ayah dari ibu saya meninggal dan ibu saya mendapatkan warisan sebuah rumah. kemudian pada tahun 1990 ayah saya meninggal dunia dengan meninggalkan beberapa putra putri. pertanyaan saya :
a. setelah ayah saya meninggal apakah rumah tersebut sepenuhnya menjadi hak ibu saya, atau menjadi harta warisan untuk seluruh keluarga.
b. apakah harta warisan yang didapatkan seorang istri (dari ayahnya) setelah menikah termasuk harta gono-gini, dan apakah semua harta gono gini merupakan harta warisan seluruh keluarga
c. bagaimana definisi dan batasan harta gono gini secara syariat
Wassalamualaikum
(NB. maaf Ustad, kalau bisa mohon disertakan referensinya sebagai hujjah saya, karena dalam dua permasalahan ini ada perbedaan pendapat dalam keluarga saya)
Jawab :
wa’alaikum salam Wr. Wb.
Kepemilikan harta dalam rumah tangga tidak lepas dari 3 (tiga) kategori berikut :
Pertama, harta milik suami saja, yaitu harta yang dimiliki oleh suami tanpa kepemilikan isteri pada harta itu. Misalnya harta yang diperoleh dari hasil kerja suami dan tidak diberikan sebagai nafkah kepada isterinya, atau harta yang dihibahkan oleh orang lain kepada suami secara khusus, atau harta yang diwariskan kepada suami, dan sebagainya.
Kedua, harta milik isteri saja, yaitu harta yang dimiliki oleh isteri saja tanpa kepemilikan suami pada harta itu. Misalnya harta hasil kerja yang diperoleh dari hasil kerja isteri, atau harta yang dihibahkan oleh orang lain khusus untuk isteri, atau harta yang diwariskan kepada isteri, dan lain-lain.
Ketiga, harta milik bersama suami isteri. Misalnya harta yang dihibahkan oleh seseorang kepada suami isteri, atau harta benda semisal rumah, tanah atau lainnya yang dibeli dari uang mereka berdua (patungan), dan sebagainya.
Harta kategori ketiga inilah yang disebut dengan istilahharta gono gini, yaitu harta milik bersama suami isteri ketika suami isteri itu bercerai atau salah satunya meninggal dunia.
Dalam pembagian harta gono gini, jika bisa diketahui prosentase kepemilikan dari suami dan istri seperti 70 % milik suami dan 30 % milik istri karena setiap pembelian barang dari harta mereka berdua dengan prosentase seperti itu, maka hak dari keduanya sesuai prosentase tersebut. Namun jika tidak diketahui prosentase kepemilikan setiap dari keduanya, maka dalam pembagiannya dengan ash-shulhu (perdamaian) yaitu pembagian hak sesuai dengan kesepakatan antara suami istri atas dasar saling ridha. Misalnya dengan membagi sama rata, suami 50 % dan istri 50 % atau suami 60 % dan istri 40 % sesuai dengan kesepakatan diantara keduanya.
Dalil disyari’atkannya shuluh adalah hadits riwayat ‘Amr bin ‘Auf :
الصُّلْحُ جَائِزٌ بَيْنَ الْمُسْلِمِينَ إلاَّ صُلْحًا حَرَّمَ حَلاَلاً أَوْ أَحَلَّ حَرَامًا وَالْمُسْلِمُونَ عَلَى شُرُوطِهِمْ، إلاَّ شَرْطًا حَرَّمَ حَلاَلاً، أَوْ أَحَلَّ حَرَامًا
”Perdamaian adalah boleh di antara kaum muslimin, kecuali perdamaian yang mengharamkan yang halal dan perdamaian yang menghalalkan yang haram, dan kaum muslimin [bertindak] sesuai syarat-syarat di antara mereka, kecuali syarat yang mengharamkan yang halal dan syarat yang menghalalkan yang haram.” (HR Abu
Adapun pembagian dalam hukum dalam Peradilan Agama, dimana harta gono gini dibagikan secara merata antara suami isteri adalah sebagai bentukshuluh di antara keduanya, yang sifatnya tidak wajib melainkan disesuaikan dengan kesepakatan dari kedua suami istri.
Oleh karena itu, jika kepemilikan rumah itu hanya milik Ibu yang didapat dari warisan orang tuanya, maka bukan termasuk harta gono-gini sehingga tetap menjadi milik ibu dan tidak menjadi harta warisan yang harus dibagi ketika ayah meninggal, kecuali jika si ibu telah meninggal. Namun jika sebagian dari rumah itu ada kepemilikan ayah, maka prosentase dari kepemilikan ayah yang telah meninggal menjadi harta waris yang dibagi sesuai dengan aturan dalam warisan, sedangkan sisanya tetap milik ibu dan bukan harta waris.
Referensi :
Qurratul ‘Ain fatawa Syekh Isma’il Zein al Yamani hal. 233-234
Qurratul ‘Ain fatawa Syekh Sulaiman al-Kurdi ha 232
Bughyatul Mustarsyidin hal 159