MENIKAHI WANITA HAMIL
Pergaulan muda-mudi yang tidak terkendali terkadang menimbulkan kecelakaan, sehingga tidak jarang seorang wanita hamil diluar nikah, karna untuk menutupi rasa malu, buru-buru orang tuanya menikahkannya sebelum wanita tersebut melahirkan.
Pertanyaan
a. Sahkah menikahi wanita yang sedang hamil karena zina ?
b. Bernasabkah anak yang lahir karena kehamilan tersebut ?
c. Dan andaikan tidak bernasab, adakah pendapat yang memperbolehkan bapak yang menghamili ibunya, sebagai wali karena untuk menutupi kalau dia anak hasil zina ?
d. Apakah anak tersebut mendapat warisan ?, bila salah satu kedua orang tuanya ( ibu dan bapak yang zina ) meninggal dunia?
e. Dan bila yang menikahi bukan orang yang menghamilinya, sementara anak yang dikandung itu lahir lebih dari enam bulan dari pernikahan, kemanakah nasab anak tersebut ?
f. Apakah pembuktian nasab melalui tes DNA bisa dibenarkan ?
Jawaban :
a. Sah.
بُغْيَةُ الْمُسْتَرْشِدِيْنَ: 1/419
(مسألة : ي ش) : يَجُوْزُ نِكَاحُ الْحَامِلِ مِنَ الزِّناَ سَوَاءٌ الزَانِي وَغَيْرُهُ وَوَطْؤُهَا حِيْنَئِذٍ مَعَ اْلكَرَاهَةِ.
“Diperbolehkan menikahi wanita yang hamil karena zina baik yang menzinahinya atau orang lain, hanya saja menyetubuhinya saat masih hamil hukumnya makruh.”
b. Bernasab kepada ibu yang mengandungnya, bila diyakini anak dari perzinahan seperti anak itu lahir sebelum enam bulan dari pernikahan.
اِعَانَةُ الطَّالِبِيْنَ : 2 / 146
(قَوْلُهُ: وَيَقُوْلُ فِي وَلَدِ الزِّناَ إلخ) أَيْ لاِنَّهُ لاَ يُنْسَبُ إَلَى أَبٍ، وَإِنَّمَا يُنْسَبُ إِلىَ أُمِّهِ.
“Musonnif berkata tentang anak zina “karena anak zina tidak bernasab kepada bapak akan tetapi bernasab kepada ibu”
c. Ada (menurut madzhab Hanafi), apabila orang yang menghamili itu menikahinya walaupun sehari sebelum kelahiran.
اَلْحَاوِي الْكَبِيْر : 8 / 454
فَمَذْهَبُ الشَّافِعِيِّ أَنَّ الْوَلَدَ لَا يَلْحَقُ بِالزَّانِي وَإِنِ ادَّعَاهُ وَقَالَ أَبُو حَنِيفَةَ : إِنْ تَزَوَّجَهَا قَبْلَ وَضْعِهَا وَلَوْ بِيَوْمٍ لَحِقَ بِهِ الْوَلَدُ ، وَإِنْ لَمْ يَتَزَوَّجْهَا لَمْ يَلْحَقْ بِه.
“Madzhab Syafi’I sesungguhnya anak zina tidak bisa bernasab kepada yang menzinahinya walaupun dia mengakuinya, imam Abu Hanifah berkata: apabila orang yang menzinahi menikahi wanita yang ia zinahi sebelum wanita itu melahirkan walaupun jarak sehari maka anak tersebut bernasab dengan orang yang menzinahi ibunya, dan apabila tidak menikahi maka tidak bernasab.”
d. Bila yang meninggal ibunya maka dia mendapat waris sebab dia bernasab kepada ibu, dan bila yang meninggal ayahnya maka tidak mendapat warisan kecuali mengikuti pendapat Imam Abu Hanifah yang mengatakan bahwa anak zina bisa bernasab kepada ayah yang menghamilinya apabila ibunya telah dinikahi sebelum melahirkan.
فَيْضُ الْقَدِيْرِ : 3 / 148
وَلَدُ زِنَا لاَ يَرِثُ وَلاَ يُوْرَثُ لأِنَّ الشَّرْعَ قَطَعَ اْلوُصْلَةَ بَيْنَهُ وَبَيْنَ الزَّانِي…إِلاَّ مِنْ قِبَلِ أُمِّهِ وَمَاءُ الزِّنَا لاَ حُرْمَةَ لَهُ مُطْلَقًا وَلاَ يَتَرَتَّبُ عَلَيْهِ شَيْءٌ مِنْ أَحْكَامِ التَّحْرِيْمِ وَالتَّوَارُثِ وَنَحْوِهِمَا عِنْدَ الشاَفِعِيَّةِ.
“Anak zina tidak bisa mewaris dan tidak bisa diwaris, karena syari’at memutus persambungan antara anak dengan orang yang berzina kecuali dari arah ibunya, dan seperma zina tidak ada kemuliaan sama sekali secara mutlak, dan juga tidak ada keterkaitan dengan sesuatu dari hukum mahrom, waris-mewaris dan sesamanya menurut ulama Syafi’iyah.”
e. Anak itu bernasab kepada orang yang menikahi apabila:
- Anak lahir setelah enam bulan dan dibawah empat tahun dari pernikahan, namun suami wajib menafikan anak apabila ia yakin anak itu bukan anaknya, seperti ia tidak pernah mengumpuli istrinya setelah ia menikah.
- Anak lahir setelah enam bulan dan dibawah empat tahun dari pernikahan, dan ia yakin itu anaknya, sebab ia telah mengumpuli istrinya setelah ia menikah.
- Anak lahir setelah enam bulan dan dibawah empat tahun dari pernikahan, dan ia tidak tahu apakah kehamilan istrinya dari pernikahan atau dari perzinahan.
بُغْيَةُ الْمُسْتَرْشِدِيْنَ : 1 / 496
(مسألة : ي ش) : نَكَحَ حَامِلاً مِنَ الزِّناَ فَوَلَدَتْ كَامِلاً كَانَ لَهُ أَرْبَعَةَ أَحْوَالٍ .... وَإِمَّا لاَحِقٌ بِهِ وَتَثْبُتُ لَهُ اْلأَحْكَامُ إِرْثاً وَغَيْرَهُ ظاَهِراً ، وَيَلْزَمُهُ نَفْيُهُ بِأَنْ وَلَدَتْهُ لأَكْثَرَ مِنَ السِّتَّةِ وَأَقَلَّ مِنَ اْلأَرْبَعِ السِّنِيْنَ، وَعَلِمَ الزَّوْجُ أَوْ غَلَبَ عَلَى ظَنِّهِ أَنَّهُ لَيْسَ مِنْهُ بِأَنْ لَمْ يَطَأْ بَعْدَ الْعَقْدِ وَلَمْ تَسْتَدْخِلْ مَاءَهُ،....... وَإِمَّا لاَ حَقَّ بِهِ وَيَحْرُمُ نَفْيُهُ بَلْ هُوَ كَبِيْرَةٌ، وَوَرَدَ أَنَّهُ كُفْرٌ إِنْ غَلَبَ عَلَى ظَنِّهِ أَنَّهُ مِنْهُ ، أَوِ اسْتَوَى اْلأَمْرَانِ بِأَنْ وَلَدَتْهُ لِسِتَّةِ أَشْهُرٍ فَأَكْثَرَ إِلَى أَرْبَعِ سِنِيْنَ مِنْ وَطْئِهِ .
“Seseorang yang menikahi wanita yang hamil karena zina kemudian wanita itu melahirkan anak yang sempurna, maka ada empat hukum terkait dengannya. Adakalanya anak itu ditemukan (bernasab) dengan orang yang menikahi ibunya serta ditetapkannya beberapa hukum padanya seperti hukum warits dan yang lain, namun secara lahiriah saja, dan wajib baginya (orang yang menikahi) menafikan anak tersebut seperti anak itu lahir diatas enam bulan dan dibawah empat tahun dari pernikahan, serta suami mengetahui atau menduga kuat bahwa anak itu bukan anaknya, sebab ia tidak pernah mengumpuli dan istrinya tidak pernah memasukkan seperma. Dan adakalanya anak itu bernasab serta haram bahkan dosa besar bagi suami menafikannya bila ia menduga kuat bahwa itu anaknya, atau kemungkinan sama (mungkin itu anaknya atau anak hasil zina) seperti anak itu lahir tidak kurang dari enam bulan dan tidak melebihi empat tahun dari dia mengumpuli istrinya.”
f. Bisa dibenarkan.
اَلمْجْمُوْعُ شَرْحُ اْلمُهَذَّبِ: 17/ 410
وَلَنَا أَنَّهُ يُمْكِنُ اْلاِسْتِعَانَةُ بِالطِّبِّ الشَّرْعِيِّ فِي تَحْلِيْلِ فَصَائِلِ دَمِ كُلٍّ مِنَ الرَّجُلَيْنِ وَالاُمِّ فَإِنْ تَشَابَهَتْ فَصَائِلُ الدَّمِ عِنْدَهُمَا أُخِذَ بِالْقَافَةِ.
“Bagi kita: mungkin saja meminta tolong pada doter syari’at untuk menguraikan sendi-sendi darahnya laki-laki dan perempuan juga ibu, apabila terjadi keserupaan diantara sendi-sendi darah di antara laki-laki dan perempuan tersebut maka harus mengambil ketentuan dari para ahli.”
بُغْيَةُ الْمُسْتَرْشِدِيْنَ: 1/321
وَأَمَّا مُجَرَّدُ وُجُوْدِ كِتَابٍ أَوْ كُتُبٍ أَنَّ فُلاَناً ابْنَ عَمٍّ لِأَبَوَيْنِ مَثَلاً فَلَيْسَ بِحُجَّةٍ يَتَرَتَّبُ عَلَيْهَا اسْتِحْقَاقُهُ الْإِرْثَ دُوْنَ ابْنِ الْعَمِ الآخَرِ، وَلاَ مُرَجِّحاً مِنْ جَانِبِهِ حَتَّى تَكُوْنَ الْيَمِيْنُ فِي جِهَتِهِ إِذْ يَحْتَمِلُ تَزْوِيْرُهُ، نَعَمْ لَوْ فُرِضَ ذَلِكَ فِي مُصَنَّفٍ اعْتَنَى فِيْهِ صَاحِبُهُ بِحِفْظِ النَّسَبِ، وَاشْتَهَرَ بِكَوْنِهِ ذَا عِلْمٍ بِذَلِكَ وَدِيَانَةٍ وَوَرَعٍ عَنِ التَّكَلُّمِ بِلاَ عِلْمٍ، وَلَمْ يَقَعْ فِيْهِ طَعْنٌ مِنْ مُعْتَبَرٍ، أَفَادَ اْلحَاكِمُ إِمَّا عِلْماً ضَرُوْرِياً أَوْ نَظَرِيّاً أَوْ ظَنّاً غَالِباً، يَجُوْزُ لَهُ اْلاِسْتِنَادُ إِلَيْهِ وَالْحُكْمُ بِعِلْمِهِ بِنَاءً عَلَى الْأَصَحِّ مِنْ جَوَازِهِ فِي غَيْرِ الْحُدُوْدِ، وَحِيْنَئِذٍ لاَ حَاجَةَ إِلَى يَمِيْنِ الْمُدَّعِيْ.
“Adapun satu tulisan atau beberapa tulisan seperti “sesungguhnya fulan ibnu ‘am itu tunggal bapak ibu” maka tulisan itu tidak bisa dijadikan pedoman yang berdampak untuk mendapatkan warisan bukan ibnu ‘am yang lain, dan tidak mengunggulkan dari sisinya sehingga ada sumpah dari orang yang bersangkutan, karena bisa jadi terjadi kesalahan pada tulisan tersebut. Ya, benar, andaikan tulisan tersebut terbukukan dan pemiliknya berpegang pada tulisan tersebut untuk menjaga nasab, dan ia dikenal orang yang mengerti hal itu, yang kuat agamanya dan menjaga dari berbicara dengan tanpa mengetahui, serta tidak ada cacat dalam tulisan tersebut. Sedangkan seorang hakim bisa mengambil keputusan dengan sebab pengetahuan yang pasti atau pandangan serta dugaan yang kuat, maka hakim boleh berpegang dengan tulisan tersebut dan menghukumi sesuai dangan apa yang ia ketahui berpegang pada pendapat ashoh hal diatas diperbolehkan selain urusan had, maka tidak perlu sumpahnya orang yang mendakwa.”
بُغْيَةُ الْمُسْتَرْشِدِيْنَ: 1/ 588
وعبارة س : وَلَنَا وَجْهُ أَنَّهُ يَجُوْزُ لِلْحَاكِمِ إِذَا رَأَى خَطَّهُ بِشَيْءٍ أَنْ يَعْتَمِدَهُ إِذَا وَثَقَ بِخَطِّهِ وَلَمْ تُدَاخِلْهُ رَيْبَةٌ.
“Kami mempunyai suatu pendapat sesungguhnya boleh bagi seorang hakim ketika melihat sebuah tulisan untuk mempercayai tulisan tersebut, bila tulisan itu tidak meragukan dan bisa dipercaya.”
BAGIAN II
Pertanyaan :
1. Bagaimana hukum menikahkan perempuan yang sedang hamil?
2. Bolehkah wanita tersebut dikumpuli (dijimak) setelah melangsungkan akad nikah?
3. Bagaimanakah status anak yang dilahirkan itu (waris)?
4. Bila anak yang dilahirkan itu perempuan siapa wali nikahnya?
Jawab :
Hukum menikahi perempuan yang sedang hamil diperinci sebagai berikut :
Jika dilahirkan lebih dari enam bulan dan kurang dari empat tahun setelah akad nikahnya, maka ada dua keadaan
Jika ada kemungkinan anak tersebut dari suami, karena ada hubungan badan setelah akad nikah misalnya, maka nasabnya tetap ke suami, berarti berlaku baginya hukum-hukum anak seperti hukum waris dll. Karena itu suami diharamkan meli’an istrinya atau meniadakan nasab anak tersebut darinya (tidak mengakui sebagai anaknya).
Jika tidak memungkinkan anak tersebut darinya seperti belum pernah ada hubungan badan semenjak akad nikah hingga melahirkan, maka nasab anak hanya ke istri bahkan wajib bagi suami meli’an dengan meniadakan nasab anak darinya (tidak mengakui sebagai anaknya). Hal ini untuk menjaga agar tidak terjadi hak waris kepada anak.
Jika dilahirkan kurang dari enam bulan atau lebih dari empat tahun, maka anak tersebut tidak bisa dinasabkan kepada suami dan tidak wajib bagi suami untuk meli’an istrinya. Bagi anak tidak berhak mendapatkan waris karena tidak ada sebab-sebab yang mendukung hubungan nasab.
Ini berlaku bagi anak yang dilahirkan laki-laki ataupun perempuan. Berarti bapak sebagai wali dalam menikahkan anak perempuannya jika diakui nasabnya dan hakim sebagai walinya jika tidak diakui nasabnya.
Perlu diperhatikan, walaupun status anak tidak bisa dinisbatkan kepada suami, tetap dinyatakan mahram baginya dikarenakan dia menjadi suami ibunya yang melahirkannya (bapak tiri) jika telah berhubungan badan dengan ibu yang melahirkannya.
★CATATAN :
Perempuan yang hamil di luar nikah jika dinikahkan dengan laki-laki yang berhubungan badan dengannya atau yang lainnya dengan tujuan menutupi aib pelaku atau menjadi ayah dari anak dalam kandungan, maka haram hukumnya dan wajib bagi penguasa membatalkan acara itu. Bagi yang menghalalkan acara itu dengan tujuan tersebut di atas, dihukumi keluar dari agama islam dan dinyatakan murtad (haram dishalati jika meninggal, dan tidak dikubur dimakam islam) karena adanya penipuan nasab dengan berkedok agama sehingga mengakui bayi yang lahir sebagai anaknya padahal diluar nikah, mendapatkan warisan padahal sebenarnya bukan dzawil furudh, menjadi wali nikah jika yang lahir perempuan padahal bukan menjadi ayahnya yang sebenarnya (berarti nikahnya tidak sah), atau anak yang lahir menjadi wali nikah dari keluarga laki-laki yang mengawini ibunya, bersentuhan kulit dengan saudara perempuan laki-laki itu dengan berkeyakinan tidak membatalkan wudlu’ dst.
[3] بغية المسترشدين ص235 – 236
( مسئلة ي ش ) نكح حاملا من الزنا فولدت كاملا كان له أربعة أحوال إما منتف عن الزوج ظاهرا وباطنا من غير ملاعنة وهو المولود لدون ستة أشهر من إمكان الإجتماع بعد العقد أو لأكثر من أربع سنين من آخر إمكان الإجتماع وإما لاحق به وتثبت له الأحكام إرثا وغيره ظاهرا ويلزم نفيه بأن ولدت لأكثر من الستة وأقل من الأربع السنين وعلم الزوج أو غلب على ظنه أنه ليس منه بأن لم يطأ بعد العقد ولم تستدخل ماءه أو ولدت لدون ستة أشهر من وطئه أو لأكثر من أربع سنين منه أو لأكثر من ستة أشهر بعد استبرائه لها بحيضه وثم قرينة بزناها ويأثم حينئذ بترك النفي بل هو كبيرة وورد أن تركه كفر وإما لاحق به ظاهرا أيضا لكن لا يلزمه نفيه إذا ظن أنه ليس منه بلا غلبة بأن استبرأها بعد الوطء وولدت به لأكثر من ستة أشهر بعده وثم ريبة بزناها إذ الاستبراء أمارة ظاهرة على أنه ليس منه لكن يندب تركه لأن الحامل قد تحيض وإما لاحق به ويحرم نفيه بل هو كبيرة وورد أنه كفر إن غلب على ظنه أنه منه أو استوى الأمران بأن ولدت لستة أشهر فأكثر إلى أربع سنين من وطئه ولم يستبرئها بعده أو استبرأها وولدت بعده بأقل من الستة بل يلحقه بحكم الفراش كما لو علم زناها واحتمل كون الحمل منه أو من الزنا ولا عبرة بريبة يجدها من غير قرينة فالحاصل أن المولود على فراش الزوج لاحق به مطلقا إن أمكن كونه منه ولا ينتقي منه إلا بللعان والنفي تارة يجب وتارة يحرم وتارة يجوز ولاعبرة بإقرار المرأة بالزنا وإن صدقها الزوج وظهرت أماراته .
إعانة الطالبين – (ج 3 / ص 327)
(قوله: لا مخلوقة من ماء زناه) أي لا يحرم نكاح مخلوقه من ماء زناه: إذ لا حرمة لماء الزنا لكن يكره نكاحها خروجا من خلاف الامام أبي حنيفة رضي الله عنه.ومثل المخلوقة من ماء الزنا المخلوقة من ماء استمنائه بغير يد حليلته والمرتضعة بلبن الزنا، وإن أرضعت المرأة بلبن زنا شخص بنتا صغيرة حلت له، ولا يقاس على ذلك المرأة الزانية، فإنها يحرم عليها ولدها بالاجماع.والفرق أن البنت انفصلت من الرجل وهي نطفة قذرة لا يعبأ بها، والولد
انفصل من المرأة وهو إنسان كامل
[4] مصنف ابن أبي شيبة – (ج 8 / ص 374(
(21) مسألة النكاح بغير ولي (1) حدثنا معاذ بن معاذ قال أخبرنا ابن جريح عن سليمان بن موسى عن الزهري عن عروة عن عائشة قالت : قال رسول الله (ص) : (أيما امرأة لم ينكحها الولي أو الولاة فنكاحها باطل – قالها ثلاثا – فإن أصابها فلها مهرها بما أصاب منها ، فإن تشاجروا فإن السلطان ولي من لا ولي له).
[5] بغية المسترشدين ص 249 – 250
( مسئلة ) ملخصة مع زيادة من الإكسير العزيز للشريف محمد بن أحمد عنقاء في حديث الولد للفراش الخ إذا كانت المرأة فراشا لزوجها أو سيدها فأتت بولد من الزنا كان الولد منسوبا لصاحب الفراش لا إلى الزاني فلا يلحقه الولد ولا ينسب إليه ظاهرا ولا باطنا وإن استلحقه ومن هنا يعلم شدة ما اشتهر أنه إذا زنى شخص بإمرأة وأحبلها تزوجها واستلحق الولد فورثه وورثه زاعما سترها وهذا من أشد المنكرات الشنيعة التي لا يسع أحدا السكوت عنها فإنه خرق للشريعة ومنابذة لأحكامها ومن لم يزله مع قدرته بنفسه وماله فهو شيطان فاسق ومداهن منافق وأما فاعله فكاد يخلع ربقة الإسلام لأنه قد أعظم العناد لسيد الأنام مع ما ترتب على فعله من المنكرات والمفاسد منها حرمان الورثة وتوريث من لا شيء له مع تخليد ذلك في البطون بعده ومنها أنه صير ولد الزنا باستلحاقه كابنه في دخوله على محارم الزاني وعدم نقض الوضوء بمسهن أبدا ومنها ولايته وتزويجه نساء الزاني كبناته وأخوته ومن له عليها ولاية من غير مسوغ فيصير نكاحا بلا ولي فهذه أعظم وأشنع إذ يخلد ذلك فيه وفي ذريته ويله فما كفاه أن ارتكب أفحش الكبائر حيث زنى حتى ضم إلى ذلك ما هو أشد حرمة منه وأفحش شناعة وأي ستر وقد جاء شيئا فريا وأحرم الورثة وأبقاه على كرور الملوين وكل من استحل هذا فهو كافر مرتد خارج عن دين الإسلام فيقتل وتحرق جيفته أو تلقى للكلاب وهو صائر إلى لعنة الله وعذابه الكبير فيجب مؤكدا على ولاة الأمور زجرهم عن ذلك وتنكيلهم أشد التنكيل وعقابهم بما يروعهم وقد علم بذلك شدة خطر الزنا وأنه من أكبر الكبائر ( مسئلة ي ) حملت إمرأة وولدت ولم تقر بالزنا لم يلزمها الحد إذ لا يلزم الحد إلا ببينة أو إقرار أو لعان زوج أو علم السيد بالنسبة إلى قنة إذ قد توطأ المرأة بشبهة أو وهي نائمة أو سكرانة بعذر أو مجنونة أو مكرهة أو تستدخل منيا من غير إيلاج ونحو ذلك فتحبل منه ولا يوجب حدا للشبهة فعلم أن كل امرأة حملت وأتت بولد إن أمكن لحوقه بزوجها لحقه ولم ينتف عنه إلا باللعان وإن لم يكن كأن طالت غيبة الزوج بمحل لا يمكن اجتماعهما عادة كان حكم الحمل كالزنا بالنسبة لعدم وجوب العدة وجوز انكاحها وطئها وكالشبهة بالنسبة لدرء الحد والقذف واجتناب سوء الظن نعم إن كانت قليلة الحياء والتقوى كثيرة الخلوة بالأجانب والتزين لهم وتحدث الناس بقذفها عزرها الإمام بما يزجر أمثالها عن هذا الفعل
5. Setelah anakya lahir nikahnya apa perlu diulang lagi, agar sah buat si anak juga ibunya,
Ulama beda pendapat, : Secara spesifik sebenarnya ada lima pendapat berbeda tentang hukum menikahi wanita pezina:
1. Mutlak tidak sah. Didukung oleh Ali, Aisyah, dan Bara’ ibn ‘Azib. Serta masing-masing satu riwayat Abu Bakar, Umar, Ibnu Mas’ud, dan Hasan Bashri (al-Hawi al-Kabir 9/492-493, al-Mughni Ibnu Qudamah 7/518, Tafsir al-Alusi 13/326).
Pandangan ini didasarkan pada QS. An-Nur: 3, yakni
الزَّانِي لَا يَنْكِحُ إِلَّا زَانِيَةً أَوْ مُشْرِكَةً وَالزَّانِيَةُ لَا يَنْكِحُهَا إِلَّا زَانٍ أَوْ مُشْرِكٌ وَحُرِّمَ ذَلِكَ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ
“Laki-laki yang berzina tidak mengawini melainkan perempuan yang berzina, atau perempuan yang musyrik; dan perempuan yang berzina tidak dikawini melainkan oleh laki-laki yang berzina atau laki-laki musyrik, dan yang demikian itu diharamkan atas orang-orang yang mukmin.”
2. Mutlak sah. Didukung oleh asy-Syafi’ie dan madzhabnya (al-Hawi al-Kabir 9/497-498).
Kalangan Syafi’iyah berargumen pada ayat 24 QS. An-Nisa:
وَأُحِلَّ لَكُمْ مَا وَرَاءَ ذَلِكُمْ
“Dan dihalalkan bagi kamu selain yang demikian.”
Ayat an-Nisa itu turun setelah menjelaskan wanita-wanita yang haram dinikahi. Dengan demikian selain wanita yang telah disebutkan halal untuk dinikahi, termasuk wanita yang berzina. Dikuatkan dengan sabda Nabi SAW:
لَا يُحَرِّمُ الْحَرَامُ الْحَلَالَ
“Sesuatu yang haram tidak bisa mengharamkan/menjadikan mahram pada (orang) yang halal” (HR. ibnu Majah dan Baihaqi).
Abu Bakar berkata: Bila seseorang menzinai wanita lain maka tidak haram bagi orang itu untuk menikahinya.
Sedangkan mengenai Surat an-Nur ayat 3, al-Mawardi (al-Hawi al-Kabir 9/494) menyebut ada tiga takwilan terhadap ayat ini:
- Ayat itu turun khusus pada kisah Ummu Mahzul, yakni ketika ada seorang laki-laki meminta izin Rasulullah akan wanita pelacur bernama Ummu Mahzul.
- Ibnu Abbas mengartikan kata ‘yankihu’ dengan ‘bersetubuh’, sehingga maksud ayat tersebut: “Laki-laki yang berzina tidak bersetubuh melainkan (dengan) perempuan yang berzina…dst.”
- Menurut Sa’id ibn Musayyab telah dinasakh oleh QS. An-Nisa ayat 3:
فَانْكِحُوا مَا طَابَ لَكُمْ مِنَ النِّسَاءِ
“Maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi.”
3. Sah dengan syarat selama menikah tidak berhubungan badan dengan istri sampai dia melahirkan. Didukung oleh Abu Hanifah dalam satu riwayat (asy-Syarh al-Kabir 7/502-503, al-Hawi al-Kabir 9/497-498).
Abu Hanifah berargumen meskipun sah dinikahi, tapi tidak boleh disetubuhi sebelum melahirkan. Termaktub dalam hadits:
لَا تَسْقِ بِمَائِكَ زَرْعَ غَيْرِكَ
“Tidak halal bagi seorang yang beriman kepada Allah dan hari akhir untuk menyiramkan air (mani)nya ke tanaman [35] orang lain” (HR. Abu Dawud dan Ahmad).
4. Sah dengan syarat menikahnya dilakukan setelah wanita melahirkan (istibra’). Didukung oleh Rabi’ah, Sufyan Tsauri, Malik, Auza’ie, Ibnu Syubrumah, Abu Yusuf, dan Abu Hanifah dalam riwayat yang lain (al-Hawi al-Kabir 9/497-498, asy-Syarh al-Kabir 7/502-503).
Mereka berpendapat wanita hamil zina memiliki iddah sehingga haram dinikahi sebelum selesai iddahnya. Dalil mereka adalah QS. Ath-Thalaq ayat 4:
وَأُولَاتُ الْأَحْمَالِ أَجَلُهُنَّ أَنْ يَضَعْنَ حَمْلَهُنَّ
“Dan perempuan-perempuan yang hamil itu ‘iddah mereka sampai mereka melahirkan.”
Disebutkan juga dalam hadits:
أَلَا لَا تُوطَأُ حَامِلٌ حَتَّى تَضَعَ وَلَا غَيْرَ ذَاتِ حَمْلٍ حَتَّى تَحِيضَ
“Ingatlah, tidak disetubuhi wanita hamil hingga ia melahirkan dan tidak juga pada wanita yang tidak hamil sampai satu kali haidh” (HR. Abu Dawud, Ahmad dan Ad-Darimi).
5. Sah dengan syarat menikahnya dilakukan setelah wanita istibra’ plus telah bertaubat. Didukung oleh Abu Ubaidah, Qatadah, Ahmad ibn Hanbal, dan Ishaq (al-Hawi al-Kabir 9/492-493, Tafsir Ibnu Katsir 6/9-10).
Ibnu Qudamah (Syarhu Kabir 7/504) menjelaskan bahwa sesuai bunyi terakhir ayat 3 surat An-Nur, ‘wa hurrima dzalika ‘alal mukminin’, keharaman menikahi pezina diperuntukkan bagi orang mukmin (yang sempurna). Sehingga ketika telah bertaubat dari zina leburlah dosa, kembali menjadi bagian dari orang-orang mukmin, dan hukum haram baru bisa terhapus. Sebagaimana hadits :
التائب من الذنب كمن لا ذنب له
“Seorang yang telah bertaubat dari dosa itu layaknya tidak ada dosa padanya” (HR. Hakim, Ibnu Majah, Thabrani, dan Baihaqi).
Ibnu Umar pernah ditanya tentang seorang laki-laki yang berzina dengan seorang perempuan, apakah boleh dia menikahinya ? Jawab Ibnu Umar, “Jika keduanya telah bertaubat dan keduanya berbuat kebaikan (yakni beramal shalih)” (Al-Muhalla 9/ 475).
Dalam hal ini tidak ada perbedaan apakah wanita tersebut dinikahi oleh laki-laki yang menzinai ataupun orang lain. Dari sudut pandang Syafi’iyah karena hamil hasil zina tidak ada kehormatan apapun yang perlu dijaga seperti percampuran nasab. Dari perspektif ulama lainnya karena telah disyaratkan tidak adanya hubungan badan.
Tersebut dalam Bughyah:
(مسألة : ي ش) : يجوز نكاح الحامل من الزنا سواء الزاني وغيره ووطؤها حينئذ مع الكراهة.
الكتاب : بغية المسترشدين ص419
Juga dalam Mughni Ibnu Qudamah:
فصل : وإذا وجد الشرطان حل نكاحها للزاني وغيره
[ المغني - ابن قدامة ] ج7 ص518
Jadi jika melihat kembali pada kasus awal, apakah nikahnya harus diulang? Maka jawabannya jelas tidak. Sebab menurut Syafi’iyah dan satu riwayat Abu Hanifah nikahnya telah sah sejak awal. Wallahu a’lam.
Ada anak perempuan SMA hamil diluar nikah (zina)setelah periksa kedokter ternyata perempuan hamil 2 bulan..untuk menutupi aib kehamilannya maka ada seorang laki2 yang menikahinya Namun laki2 tersebut selama nikah tidak pernah menjimakx hanya sebatas tidur saja hingga 9bulan dan perempuan trsebut melahirkan anak perempuan ?
Siapakah wali dan nasabnya anak tersebut?
Bila ibunya dinikahkan dengan orang yg menghamilinya, maka anak tersebut dinasabkan kepadanya jika anak itu lahir di atas 6 bulan atau kurang dari 4 tahun pasca pernikahan. Namun anak itu tidak bisa dinasabkan kepadanya jika anak itu lahir kurang dari 6 bulan pasca pernikahan, kecuali apabila si suami melakukan ikrar pengakuan anak.
Namun bila ibunya dinikahkan bukan kepada orang yg menghamilinya, maka jika anak itu lahir di atas 6 bulan pasca pernikahan, anak tersebut secara zdahir saja dinasabkan kepadanya, dan ia wajib menafikannya (tidak mengakui sebagai anaknya), tidak perlu sumpah Li'an.
ﻭﺇﻣﺎ ﻻﺣﻖ ﺑﻪ ﻭﺛﺒﺖ ﻟﻪ ﺍﻷﺣﻜﺎﻡ ﺇﺭﺛﺎ ﻭﻏﻴﺮﻩ ﻇﺎﻫﺮﺍ ﻭﻳﻠﺰﻣﻪ ﻧﻔﻴﻪ ﺑﺄﻥ ﻭﻟﺪﺗﻪ ﻷﻛﺜﺮ ﻣﻦ ﺍﻟﺴﺘﺔ ﻭﺃﻗﻞ ﻣﻦ ﺍﻷﺭﺑﻊ ﺍﻟﺴﻨﻴﻦ ﻭﻋﻠﻢ ﺍﻟﺰﻭﺝ ﺃﻭ ﻏﻠﺐ ﻋﻠﻰ ﻇﻨﻪ ﺃﻧﻪ ﻟﻴﺲ ﻣﻨﻪ ﺑﺄﻥ ﻟﻢ ﻳﻄﺄ ﺑﻌﺪ ﺍﻟﻌﻘﺪ ﻭﻟﻢ ﺗﺴﺘﺪﺧﻞ ﻣﺎﺀﻩ ﺃﻭ ﻭﻟﺪﺕ ﻟﺪﻭﻥ ﺳﺘﺔ ﺃﺷﻬﺮ ﻣﻦ ﻭﻃﺌﻪ ﺃﻭ ﻷﻛﺜﺮ ﻣﻦ ﺃﺭﺑﻊ ﺳﻨﻴﻦ ﻣﻨﻪ ﺃﻭ ﻷﻛﺜﺮ ﻣﻦ ﺳﺘﺔ ﺃﺷﻬﺮ ﺑﻌﺪ ﺇﺳﺘﺒﺮﺍﺋﻪ ﻟﻬﺎ ﻭﺛﻢ ﻗﺮﻳﻨﺔ ﺑﺰﻧﺎﻫﺎ ﻭﻳﺄﺛﻢ ﺑﺘﺮﻙ ﺍﻟﻨﻔﻰ ﺑﻞ ﻫﻮ ﻛﺒﻴﺮﺓ ﻭﻭﺭﺩ ﺃﻥ ﺗﺮﻛﻪ ﻛﻔﺮ
Barangkali ini juga bisa dibuat masukan tambahan :
الولد للفراش معنيان ؛ أحدهما هو له ما لم ينفه فإذا نفاه بما شرع له كاللعان انتفى عنه ، والثاني إذا تنازع رب الفراش والعاهر فالولد لرب الفراش
فتح الباري شرح صحيح البخاري
Menafikan anak tidak harus ranjam :
لأن الرجم مختص بالمحصن ، ولأنه لا يلزم من رجمه نفي الولدفتح الباري شرح صحيح البخاري
Sehingga saya menawarkan rumusan jawaban :
1. Anak bisa dikatakan sah ( perwalian / tauliyah dan irsi ) manakala dihasilkan dari pernikahan sah.dan lama usia nikah dihitung dari akad lebih dari 6 bulan. baik itu sperma hasil kerja orng lain atau suaminya sendiri.selama tidak ada penafian / penyangkalan dari suami semacam lian.
2. Apabila di usia nikah lebih dari 6 bulan atau lebih lalu terjadi penyangkalan dari suami (tidak menghamili/ hasil kerja orng lain atau tidak / telah hamil sebelum nikah) baik penyangkalan nya saat hamil atau saat melahirkan atau saat prosesi waris atau saat prosesi nikah, maka anak adalah milik suami. Selama suami tidak menjatuhkan lian.
3. Jika istri melahirkan di bawah 6 bulan dihitung dari awal akad. maka status permalian / irsi mahjub. walau sperma hasil produksi dari suaminya.
inti jawaban ada dua :
1. Anak dinasabkan pada suami... jika imkan.
2. Jika suami yakin anak itu bukan benihnya, maka jawaban no 1 gugur.
Kalau saja kita mau merujuk pada ibarot kitab Tuhfah bab Li'an yg nota bene sebagai rujukan dari kitab Bughiyah sekaligus sebagai syarahnya, maka kita dapatkan ta'bir sebagai berikut :
(ولو أتت) أو حملت (بولد علم أنه ليس منه) أو ظنه ظنا مؤكدا وأمكن كونه منه ظاهرا لما سيذكره (لزمه نفيه) وإلا لكان بسكوته مستلحقا لمن ليس منه وهو ممتنع كما يحرم نفي من هو منه لما يأتي ولعظيم التغليظ على فاعل ذلك وقبيح ما يترتب عليهما من المفاسد كانا من أقبح الكبائر بل أطلق عليهما الكفر
Fokus :
وإلا لكان بسكوته مستلحقا لمن ليس منه وهو ممتنع كما يحرم نفي من هو منه
Lebih fokus :
وهو ممتنع
Kesimpulannya sudah ada dalam kitab Bughiyah itu sendiri :
فالحاصل أن المولود على فراش الزوج لاحق به مطلقاً إن أمكن كونه منه، ولا ينتفي عنه إلا باللعان والنفي، تارة يجب، وتارة يحرم، وتارة يجوز، ولا عبرة بإقرار المرأة بالزنا، وإن صدقها الزوج وظهرت أماراته.
Dengan rincian sebagai berikut :
ﺑﻐﻴﺔ ﺍﻟﻤﺴﺘﺮﺷﺪﻳﻦ ﺻـ 235 :
ﻣﺴﺌﻠﺔ ﻱ ﺵ: ﻧﻜﺢ ﺣﺎﻣﻼ ﻣﻦ ﺍﻟﺰﻧﺎ ﻓﻮﻟﺪﺕ ﻛﺎﻣﻼ ﻛﺎﻥ ﻟﻪ ﺃﺭﺑﻌﺔ ﺃﺣﻮﺍﻝ:
ﺇﻣﺎ ﻣﻨﺘﻒ ﻋﻦ ﺍﻟﺰﻭﺝ ﻇﺎﻫﺮﺍ ﻭﺑﺎﻃﻨﺎ ﻣﻦ ﻏﻴﺮ ﻣﻼﻋﻨﺔ ﻭﻫﻮ ﺍﻟﻤﻮﻟﻮﺩ ﻟﺪﻭﻥ ﺳﺘﺔ ﺃﺷﻬﺮ ﻣﻦ ﺇﻣﻜﺎﻥ ﺍﻹﺟﺘﻤﺎﻉ ﺑﻌﺪ ﺍﻟﻌﻘﺪ ﺃﻭ ﻷﻛﺜﺮ ﻣﻦ ﺃﺭﺑﻊ ﺳﻨﻴﻦ ﻣﻦ ﺁﺧﺮ ﺇﻣﻜﺎﻥ ﺍﻹﺟﺘﻤﺎﻉ.
ﻭﺇﻣﺎ ﻻﺣﻖ ﺑﻪ ﻭﺛﺒﺖ ﻟﻪ ﺍﻷﺣﻜﺎﻡ ﺇﺭﺛﺎ ﻭﻏﻴﺮﻩ ﻇﺎﻫﺮﺍ ﻭﻳﻠﺰﻣﻪ ﻧﻔﻴﻪ ﺑﺄﻥ ﻭﻟﺪﺗﻪ ﻷﻛﺜﺮ ﻣﻦ ﺍﻟﺴﺘﺔ ﻭﺃﻗﻞ ﻣﻦ ﺍﻷﺭﺑﻊ ﺍﻟﺴﻨﻴﻦ ﻭﻋﻠﻢ ﺍﻟﺰﻭﺝ ﺃﻭ ﻏﻠﺐ ﻋﻠﻰ ﻇﻨﻪ ﺃﻧﻪ ﻟﻴﺲ ﻣﻨﻪ ﺑﺄﻥ ﻟﻢ ﻳﻄﺄ ﺑﻌﺪ ﺍﻟﻌﻘﺪ ﻭﻟﻢ ﺗﺴﺘﺪﺧﻞ ﻣﺎﺀﻩ ﺃﻭ ﻭﻟﺪﺕ ﻟﺪﻭﻥ ﺳﺘﺔ ﺃﺷﻬﺮ ﻣﻦ ﻭﻃﺌﻪ ﺃﻭ ﻷﻛﺜﺮ ﻣﻦ ﺃﺭﺑﻊ ﺳﻨﻴﻦ ﻣﻨﻪ ﺃﻭ ﻷﻛﺜﺮ ﻣﻦ ﺳﺘﺔ ﺃﺷﻬﺮ ﺑﻌﺪ ﺇﺳﺘﺒﺮﺍﺋﻪ ﻟﻬﺎ ﻭﺛﻢ ﻗﺮﻳﻨﺔ ﺑﺰﻧﺎﻫﺎ ﻭﻳﺄﺛﻢ ﺑﺘﺮﻙ ﺍﻟﻨﻔﻰ ﺑﻞ ﻫﻮ ﻛﺒﻴﺮﺓ ﻭﻭﺭﺩ ﺃﻥ ﺗﺮﻛﻪ ﻛﻔﺮ.
ﻭﺇﻣﺎ ﻻﺣﻖ ﺑﻪ ﻇﺎﻫﺮﺍ ﺃﻳﻀﺎ ﻟﻜﻦ ﻻ ﻳﻠﺰﻣﻪ ﻧﻔﻴﻪ ﺇﺫﺍ ﻇﻦ ﺃﻧﻪ ﻟﻴﺲ ﻣﻨﻪ ﺑﻼ ﻏﻠﺒﺔ ﺑﺄﻥ ﺍﺳﺘﺒﺮﺃﻫﺎ ﺑﻌﺪ ﺍﻟﻮﻁﺀ ﻭﻭﻟﺪﺕ ﺑﻪ ﻷﻛﺜﺮ ﻣﻦ ﺳﺘﺔ ﺃﺷﻬﺮ ﺑﻌﺪﻩ ﻭﺛﻢ ﺭﻳﺒﺔ ﺑﺰﻧﺎﻫﺎ ﺇﺫ ﺍﻹﺳﺘﺒﺮﺍﺀ ﺃﻣﺎﺭﺓ ﻇﺎﻫﺮﺓ ﻋﻠﻰ ﺃﻧﻪ ﻟﻴﺲ ﻣﻨﻪ ﻟﻜﻦ ﻳﻨﺪﺏ ﺗﺮﻛﻪ ﻷﻥ ﺍﻟﺤﺎﻣﻞ ﻗﺪ ﺗﺤﻴﺾ.
ﻭﺇﻣﺎ ﻻﺣﻖ ﺑﻪ ﻭﻳﺤﺮﻡ ﻧﻔﻴﻪ ﺑﻞ ﻫﻮ ﻛﺒﻴﺮﺓ ﻭﻭﺭﺩ ﺃﻧﻪ ﻛﻔﺮ ﺇﻥ ﻏﻠﺐ ﻋﻠﻰ ﻇﻨﻪ ﺃﻧﻪ ﻣﻨﻪ ﺃﻭ ﺍﺳﺘﻮﻯ ﺍﻷﻣﺮﺍﻥ ﺑﺄﻥ ﻭﻟﺪﺗﻪ ﻟﺴﺘﺔ ﺃﺷﻬﺮ ﻓﻸﻛﺜﺮ ﺇﻟﻰ ﺍﺭﺑﻊ ﺳﻨﻴﻦ ﻣﻦ ﻭﻃﺌﻪ ﻭﻟﻢ ﻳﺴﺘﺒﺮﺋﻬﺎ ﺑﻌﺪﻩ ﺃﻭ ﺇﺳﺘﺒﺮﺋﻬﺎ ﻭﻭﻟﺪﺕ ﺑﻌﺪﻩ ﺑﺄﻗﻞ ﻣﻦ ﺍﻟﺴﺘﺔ ﺑﻞ ﻳﻠﺤﻘﻪ ﺑﺤﻜﻢ ﺍﻟﻔﺮﺍﺵ ﻛﻤﺎ ﻟﻮ ﻋﻠﻢ ﺯﻧﺎﻫﺎ ﻭﺍﺣﺘﻤﻞ ﻛﻮﻥ ﺍﻟﺤﻤﻞ ﻣﻨﻪ ﺃﻭ ﻣﻦ ﺍﻟﺰﻧﺎ ﻭﻻ ﻋﺒﺮﺓ ﺑﺮﻳﺒﺔ ﻳﺠﺪﻫﺎ ﻣﻦ ﻏﻴﺮ ﻗﺮﻳﻨﺔ