PRAKTEK PERAWATAN JANAZAH
Banyak sekali tradisi atau praktek pelaksanaan perawatan mayit/jenazah yang di antara satu daerah dengan daerah lain tidak sama, seperti mewudlu’kan mayit, ada yang dilakukan setelah memandikan mayit, ada yang dilakukan sebelum memandikan. Begitu juga dalam memposisikan kepala mayit, ada yang membedakan antara mayit laki-laki dan perempuan.
Pertanyaan:
Sebenarnya bagaimana praktek yang benar menurut pandangan Ulama Fiqh?
Jawaban:
Adapun dalam mewudhukan mayit disunnahkan untuk dilakukan sebelum memandikan, namun jika tidak dilakukan sebelumnya maka tetap disunnahkan untuk mewudlu’kannya setelah memandikan. Sedangkan untuk posisi kepala mayit ketika disholati; kepala mayit laki-laki berada disebelah kiri orang yang mensholati, dan kepala mayit perempuan disebelah kanan orang yang mensholati.
اَلْفِقْهُ اْلإسْلاَمِيُّ وَأَدِلَّتُهُ: 3/251
اِتَّفَقَ أَئِمَّةُ الْمَذَاهِبِ عَلَى أَنَّ اْلغَاسِلَ يُوَضِّئُ الْمَيِّتَ غَيْرَ الصَّغِيْرِ كَالْحَيِّ بَعْدَ إِزَالَةِ مَا بِهِ مِنْ نَجْسٍ أَوْ وَسْخٍ، بِالسِّدْرِ أَوِ الصَّابُوْنِ، وَغَسَلَ سَوْأَتَيْهِ بِخِرْقَةٍ، لَكِنْ بِدُوْنِ مَضْمَضَةٍ وَاسْتِنْشَاقٍ عِنْدَ الْحَنَفْيَّةِ وَالْحَنَابِلَةِ لِلْحَرَجِ، ِلأَنَّهُ إِذَا دَخَلَ اْلمَاءُ فِي اْلفَمِ وَاْلأَنْفِ، فَوَصَلَ إِلَى جَوْفِهِ حَرَّكَ النَّجَاسَةَ. وَبِهِمَا قَلِيْلاً عِنْدَ الْمَالِكِيَّةِ وَالشَّافِعِيَّةِ بِأَنْ يَضَعَ اْلغَاسِلُ اْلماَءَ فِي فَمِهِ عِنْدَ إِمَالَةِ رَأْسِهِ. فَإِنْ كَانَ الْمَيِّتُ جُنُبًا أَوْ حَائِضًا أَوْ نُفَسَاءَ، فُعِلاَ اِتِّفَاقًا، تَتْمِيْمًا لِلطَّهَارَةِ. وَعَلَى هَذَا فَيُبْدَأُ باِلْوُضُوْءِ فيِ غُسْلِ الْمَيِّتِ.
“Para Imam Mazhab sepakat bahwa mewudlu’kan mayit selain mayit anak kecil dilakukan seperti halnya orang yang hidup setelah membersihkan kotoran dan najis dengan air sabun dan dedaunan. Kemudian kubul dan duburnya dibersihkan dengan kain, namun menurut Hanafiah dan Hanabilah tidak perlu mengkumur-kumurkan dan memasukkan air ke hidung mayit, karena air yang masuk ke mulut dan hidung akan menyebabkan bergeraknya najis. Sedangkan menurut Malikiyah dan Syafi’iyyah boleh saja dengan sedikit memasukkan air di mulut mayit ketika menundukkan kepalanya. Dan jika mayit tersebut dalam kondisi junub, haid atau nifas maka secara sepakat perlu berkumur dan memasukkan air ke hidung mayit untuk menyempurnakan bersucinya. Dengan demikian, mewudlu’kan mayit dilakukan sebelum memandikannya.”
فَتْحُ اْلمُعِيْنِ : 94
وَلَوْ تَوَضَّأَ أَثْناَءَ الْغُسْلِ أَوْ بَعْدَهُ حَصَلَ لَهُ أَصْلُ السُّنَّةِ، لَكِنِاْلاَفْضَلُ تَقْدِيْمُهُ، وَيُكْرَهُ تَرْكُهُ.
“Jika berwudlu’ dilakukan di tengah-tengah mandi atau sesudahnya, maka tetap mendapat kesunnahan, tetapi yang paling utama adalah mendahulukan wudlu atas mandi, dan makruh jika ditinggalkan.”
اَلْبُجَيْرَمِيُّ عَلَى الْخَطِيْبِ : 6/97
قَوْلُهُ : (عِنْدَ رَأْسِ ذَكَرٍ إلَخْ) عِبَارَةُ ع ش : وَتُوضَعُ رَأْسُ الذَّكَرِ لِجِهَةِ يَسَارِ الْإِمَامِ وَيَكُونُ غَالِبُهُ لِجِهَةِ يَمِينِهِ خِلَافَ مَا عَلَيْهِ عَمَلُ النَّاسِ الْآنَ، أَمَّا الْأُنْثَى وَالْخُنْثَى فَيَقِفُ الْإِمَامُ عِنْدَ عَجِيزَتِهِمَا وَيَكُونُ رَأْسَهُمَا لِجِهَةِ يَمِينِهِ عَلَى مَا عَلَيْهِ النَّاسُ الْآنَ ا هـ .
“Ketika shalat, kepala mayit laki-laki diletakkan di sebeah kiri imam sehingga mayoritas badan mayit berada di sebelah kanan imam. Hal ini berbeda dengan yang dilakukan masyarakat sekarang. Adapun mayit perempuan atau banci, imam berdiri di hadapan pantatnya dengan kepala mayit berada di sebelah kanan imam seperti yang dipraktekan oleh masyarakat sekarang.”