Jumat, 12 Mei 2017

SHALAT DALAM KONDISI SAKIT & QADHA' (MEMBAYAR HUTANG) SHALAT


 

SHALAT DALAM KONDISI SAKIT


Shalat fardlu lima waktu merupakan kewajiban yang tidak bisa ditinggalkan dalam kondisi dan situasi bagaimanapun. Namun demikian, syara’ telah memberikan beberapa solusi dan cara bagi orang yang berada dalam kondisi tidak normal atau di luar lazimnya untuk tetap melaksanakan kewajiban salat tersebut, seperti dalam keadaan sakit, perjalanan dan sebagainya. Berkaitan dengan ini, sering kita temukan orang yang menderita sakit stroke (gangguan aliran darah) dengan berefek pada ketidak stabilan kesadaran dan kondisi tubuhnya.


Pertanyaan:


a.    Bagaimana hukum salat dan puasanya orang yang menderita penyakit stroke dengan kondisi yang tidak menentu, terkadang ia sadar atau mampu untuk melakukan gerakan salat dan terkadang sebaliknya? Apakah ia tetap wajib untuk shalat/puasa ataukah tidak?


b.    Bagaimana cara bersuci dan shalatnya orang dalam kondisi tersebut?



Jawaban:


a.    Puasanya tetap dihukumi wajib, sehingga jika ia tidak berpuasa maka wajib untuk meng-qadla’-nya. Sedangkan dalam masalah shalat, jika kesadarannya itu berlangsung lama yang kiranya mencukupi untuk melaksanakan shalat ( جاء المانع ), namun dia belum sempat melaksanakan maka ia tetap diwajibkan meng-qodho’ shalat,  dan sebaliknya jika masa kesadarannya itu tidak mencukupi untuk melaksanakan shalat maka ia tidak wajib meng-qadla’ lantaran meninggalkan salat pada waktu itu. Dan apabila sebelum masuk waktu dia tidak sadarkan diri kemudian dia sadar sebelum habis waktu sholat ( زوال المانع ), sekiranya waktu yang tersisa masih mencukupi untuk takbirotul ihrom maka dia wajib meng-qodho’ sholat itu dan shalat sebelumnya bila bisa dijama’.



تخفة المختاج: 5/16


( قَوْلُهُ : أَوْ ذِي جُنُونٍ ، أَوْ إغْمَاءٍ إلَخْ ) سَوَاءٌ قَلَّ زَمَنُ ذَلِكَ أَمْ طَالَ وَإِنَّمَا وَجَبَ قَضَاءُ الصَّوْمِ عَلَى مَنْ اسْتَغْرَقَ إغْمَاؤُهُ جَمِيعَ النَّهَارِ لِمَا فِي قَضَاءِ الصَّلَاةِ مِنْ الْحَرَجِ لِكَثْرَتِهَا بِتَكَرُّرِهَا بِخِلَافِ الصَّوْمِنِهَايَةٌ وَمُغْنِي ( قَوْلُهُ : أَوْ سُكْرٍ ) وَمِثْلُ مَا ذُكِرَ الْمَعْتُوهُ ، وَالْمُبَرْسَمُ مُغْنِي وَنِهَايَةٌ وَشَرْحُ بَافَضْلٍ وَفِي الْقَامُوسِ الْمَعْتُوهُ هُوَ نَاقِصُ الْعَقْلِ ، أَوْ فَاسِدُهُ ، وَالْمُبَرْسَمُ هُوَ الَّذِي أَصَابَتْهُ عِلَّةٌ يَهْذِي فِيهَا.



Kitab Tuhfah Al-Mukhtaj, Juz 5, hlm 16:


“Memang wajib mengqodho’ puasa bagi seseorang yang pingsannya selama seharian penuh karena adanya kesusahan dalam mengqodho’ sholat dikarenakan banyak serta berulang-ulangnya sholat, lain halnya dengan ibadah puasa.


Seperti hukum di atas adalah orang yang kurang atau rusak akalnya dan orang yang mengidap penyakit radang selaput dada yang bisa mengakibatkan orang mengigau (ngelantur: jawa).”



اَلْفِقْهُ عَلَى الْمَذَاهِبِ الاَرْبَعَةِ: 1/87


اَلثَّانِي : التَّمْيِيْزُ فَلاَ يَصِحُّ مِنْ غَيْرِ مُمَيِّزٍ فَإِنْ كَانَ مَجْنُوْنًا لاَ يَصِحُّ صَوْمُهُ وَإِنْ جَنَّ لَحْظَةً مِنْ نَهَارٍ وَإِنْ كَانَ سَكْرَانَ أَوْ مُغْمًى عَلَيْهِ لاَ يَصِحُّ صَوْمُهُمَا إِذَا كَانَ عَدَمُ التَّمْيِيْزِ مُسْتَغْرِقًا لِجَمِيْعِ النَّهَارِ أَمَّا إِذَا كَانَ فِي بَعْضِ النَّهَارِ فَقَطْ فَيَصِحُّ وَيَكْفِي وُجُوْدُ التَّمْيِيْزِ وَلَوْ حُكْمًا فَلَوْ نَوَى الصَّوْمَ قَبْلَ الْفَجْرِ وَنَامَ إِلَى اْلغُرُوْبِ صَحَّ صَوْمُهُ لِأَنَّهُ مَمَيِّزٌ حُكْمًا.



Kitab Al-Fiqh ‘Ala al-Madzahib al-Arba’ah, Juz 1, hlm 87:


“Yang kedua Tamyiz: maka tidak sah berpuasa bagi selain tamyiz. Apabila seseorang itu gila maka tidak sah puasanya walaupun gilanya hanya sebentar, apabila mabuk atau tidak sadarkan diri maka tidak sah puasanya apabila tidak sadarnya itu selama sehari penuh, dengan demikian bila mana mereka mendapatkan tamyiz di sebagian hari saja maka sah puasnya, dan dalam permasalahan tamyiz ini cukup dengan adanya tamyiz  walaupun sebatas hukum, andai kata seseorang berniat puasa sebelum fajar lalu dia tidur sampai magrib maka puasanya sah karena orang tersebut tamyiz secara hukum.”



رَوْضَةُ الطَّالِبِيْنَ: 1/170


أَمَّا إِذَا كَانَ الْمَاضِي مِنَ اْلوَقْتِ لاَ يَسَعُ تِلْكَ الصّلاَةَ فَلاَ يَجِبُ عَلَى الْمَذْهَبِ وَبِهِ


 قَطَعَ الْجَمَاهِيْرُ وَقاَلَ أَبُوْ يَحْيَى الْبَلْخِي وَغَيْرُهُ مِنْ أَصْحَابِنَا حُكْمُ أَوَّلِ الْوَقْتِ حُكْمُ آخِرِهِ فَيَجِبُ اْلقَضَاءُ بِإِدْرَاكِ رَكْعَةٍ أَوْ تَكْبِيْرَةٍ عَلَى اْلأَظْهَرِ.



Kitab Roudhoh al-Tholibin, Juz I, hlm 170:


“Andai kata waktu yang telah lampau tidak muat untuk melaksanakan sholat maka qodho’ sholat tersebut tidak wajib menurut madzab syafi’i yang juga dipastikan oleh mayoritas ulama, Abu Yahya al-Balkhiy dan sebagian penganut syafi’i mengatakan bahwasannya hukum diawal waktu itu seperti hukum diakhir waktu dengan demikian wajib mengqodho’ sholat karena mendapatkan waktu yang cukup untuk sholat satu rokaat atau takbirotul ihrom berdasarkan qoul yang lebih jelas.”



سلم التوفيق 1 / 72


فَاِنْ طَرَأَ مَانِعٌ كَحَيْضٍ بَعْدَ مَامَضَى مِنْ وَقْتِهَا مَا يَسَعُهَا وَطُهْرُهَا لِنَحْوِ سَلِسٍ لَزِمَهُ قَضَاؤُهَا اَوْ زَالَ الْمَانِعُ وَقَدْ بَقِيَ مِنَ اْلوَقْتِ قَدْرَ تَكْبِيْرَةٍ لَزِمَتْهُ وَكَذَا مَا قَبْلَهَا اِنْ جُمِعَتْ مَعَهَا .



Kitab Sulam al-Taufiq, Juz I, hlm 72:


“Apabila datang sesuatu untuk menghalangi untuk sholat seperti haid setelah lewatnya waktu yang cukup untuk melaksanakan sholat, dan cukup untuk bersuci bagi orang yang selalu hadats maka wajib meng-qodho’ sholat tersebut, atau hilangnya sesuatu yang menghalangi sholat dan masih tersisi waktu yang cukup untuk takbirotul ihrom maka wajib melaksanakan sholat tersebut dan sholat sebelumnya apabila bisa dijama’.”


b.    Bersuci dalam kondisi di atas diperbolehkan dengan mengusapkan kain yang telah dibasahi kepada anggota yang sakit, dengan syarat air basahan kain tersebut bisa menetes pada anggota wudlu’.



شَرْحُ الْوَجِيْزِ:2/295


(اَلْمَسْأَلَةُ الثَّانِيَةُ) وَيَخَافَ مِنْ اِيْصَالِ الْمَاءِ إِلَيْه فَيُغْسَلُ الصَّحِيْحُ بِقَدْرِ اْلاِمْكَانِ وَيُتَلَطَّفُ إِذَا خَافَ سَيْلاَنَ الْمَاءِ إِلَى مَوْضِعِ اْلعِلَّةِ بِوَضْعِ خِرْقَةٍ مَبْلُوْلَةٍ بِالْقُرْبِ مِنْهُ وَيَتَحَامَلُ عَلَيْهَا لِيَنْغَسِلَ بِالْمُتَقَاطِرِ مِنْهَا



Kitab Syarh al-Wajiz, Juz 2, hlm 290:


“Masalah kedua : mutawadhi khawatir akan mengalirnya air pada luka, orang ini harus membasuh anggota yang sehat semampunya. Dan pelan-pelan dengan meletakkan kain yang dibasahi didekat anggota yang sakit serta menekan sedikit supaya anggotanya terbasuh dengan tetesan air tersebut, bila mana dia takut untuk mengalirkan air.”



فَتَاوَى السُّبْكَةِ اْلاِسْلاَمِيَّةِ: 130/296


وَقَالَ آخَرُوْنَ وَهُوَ قَوْلُ أَصْحَابِنَا وَعَامَّةُ الْفُقَهَاءِ:(عَلَيْهِ إِجْرَاءُ الْمَاءِ عَلَيْهِ وَلَيْسَ عَلَيْهِ دَلْكُهُ بِيَدِهِ ).



Kitab Fatawi al-Sabkah al-Islamiyah, Juz 130, hlm 296:


“Berkata ulama’ yang lain yaitu pendapat ulama’ Syafi’iyah dan seluruh ulama’ fiqh bahwa wajib atas orang yang wudhu untuk mengalirkan air pada anggota wudhu, dan tidak dicukupkan hanya sekedar menggosok dengan tangan.”



 

QADHA' (MEMBAYAR HUTANG) SHALAT


Fenomena yang banyak kita temukan di masyarakat adalah sikap antusias mereka di dalam menyambut datangnya bulan Ramadlan, seperti dengan berbondong-bondong pergi ke masjid untuk melaksanakan shalat sunah tarawih berjamaah, meskipun mungkin ada di antara mereka yang sesekali bahkan sering meninggalkan salat fardlu lima waktu, terutama pada bulan selain Ramadlan.


Pertanyaan:


a.    Berdasarkan kitab I’anah al-Thalibin(Hasyiyah Fath al-Mu’in) Juz 1 hal. 23 (cet. Toha Putra Semarang), bahwa orang yang masih mempunyai tanggungan untuk meng-qadha’(membayar hutang) shalat, ia diharamkan untuk melakukan shalat sunnah, seperti tarawih. Adakah pendapat yang memperbolehkannya, meskipun masih memiliki tanggungan qhadha’ tersebut? 


b.    Bagaimana cara meng-qhadha’ shalat yang jumlahnya tidak diketahui atau lupa?



Jawaban:


a.    Ada, yaitu keterangan dalam kitab Al-Majmu’, bahwa seseorang yang masih mempunyai tanggungan sholat fardhu sah dan mendapatkan pahala bila melaksanakan sholat-sholat sunnah.



اَلْمَجْمُوْعُ شَرْحَ الْمُهُذَّبِ : 4 / 57


(فَرْعٌ) تَصِحُّ النَّوَافِلُ وَتُقْبَلُ وَاِنْ كَانَتِ الْفَرَائِضُ نَاقِصَةً لِحَدِيْثَيْ اَبِي هُرَيْرَةَ وَتَمِيْمٍ الدَّارِيّ السَّابِقَيْنِ فِي الْمَسْأَلَتَيْنِ التَّاسِعَةِ وَالْعَاشِرَةِ: وَأَمَّا الْحَدِيْثُ الْمَرْوِيُّ عَنْ عَلِيٍّ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ "مثل الْمُصَلِّي مِثْلُ التَّاجِرِ لاَ يَخْلُصُ لَهُ رِبْحُهُ حَتىَّ يَخْلُصَ رَأْسُ مَالِهِ كَذَلِكَ الْمُصَلِّي لاَ تُقْبَلُ نَافِلَتُهُ حَتىَّ يُؤَدِّيَ الْفَرِيْضَةَ" فَحَدِيْثٌ ضَعِيْفٌ بَيَّنَ الْبَيْهَقِيّ وَغَيْرُهُ ضُعْفَهُ.



Kitab Al-Majmu’ Syarh al-Muhdzdzab, Juz 4, hlm 57:


“(Far’) Sholat-sholat sunnah berhukum sah dan diterima walaupun masih memiliki kekurangan (dalam meng-qodho’) sholat fardhu karna berdasarkan hadits Abu Hurairah dan Tamimi Ad-Dari yang telah disebutkan dalam masalah kesembilan dan kesepuluh : “ perumpamaan orang yang sholat seperti pedagang yang tidak akan bersih labanya sehingga bersih modalnya, begitu juga orang yang sholat tidak diterima sholat sunnahnya sehingga dia melaksanakan sholat wajib. Maka ini Hadits Dho’if, Imam Baihaqi dan yang lain menjelaskan ke-dho’ifan hadits tersebut.”



b.    Jika kepastian jumlah shalat yang ditinggalkan tidak diketahui, maka wajib meng-qadla shalat sejumlah yang diyakini ditinggalkan atau tidak diragukan. Namun menurut qaul mu’tamad, wajib mengqadla’ shalat yang ditinggalkan dengan  melebihi jumlah yang diyakini, yaitu dengan membandingkannya dengan jumlah shalat yang telah dilaksanakan. (misalnya; dalam sebulan ia yakin shalat sebanyak 10 hari, maka dia wajib mengqadla’ shalat melebihi 20 hari).



الشَّرْقَاوِيّ:1/275 – 276


لَوْكَانَ عَلَيْهِ فَوَائِتُ وَاَرَادَ قَضَاؤَهَا سُنَّ تَرْتِيْبُهَا ... وَاِذَا كَانَ لاَيَعْرِفُ عَدَدَهَا فَقَالَ


الْقَفَّالُ يَقْضِيْ مَا تَحَقَّقَ تَرْكُهُ اَيْ فَلاَ يَقْضِي الْمَشْكُوْكَ فِيْهِ، وَقَالَ الْقَاضِيْ حُسَيْنٌ


يَقْضِيْ مَا زَادَ عَلَى مَا تَحَقَّقَ فِعْلُهُ فَيَقْضِي مَا ذُكِرَ وَهُوَ الْمُعْتَمَدُ. اهـ 



Kitab Al-Syarqowiy, Juz 1, hlm 275-276:


“Apabila seseorang mempunyai beberapa hutang shalat, dan ia bermaksud untuk meng-qadha’ maka disunnahkan meg-qadah’ sesuai urutan shalat. Dan apabila ia tidak mengetahui jumlah hutang shalatnya maka menurut Imam Qofal dia wajib meng-qadha’ shalat yang diyakini ditinggalkan artinya dia tidak meng-qadha’ shalat yang diragukan ditinggalkan. Al-Qodhi Husain berkata: “dia diwajibkan meng-qadha’ dengan jumlah yang melebihi dari shalat yang yakin dikerjakan. Pendapat ini adalah pendapat yang kuat.”